Sebahagian orang salih bercerita:
Saya sudah lama tinggal di Baghdad. Suatu hari ada sebuah rumah yang roboh dan perlu dibaiki secepatnya. Saya pun pergi ke suatu tempat di mana biasanya terdapat para pekerja yang menunggu pekerjaannya. Saya tiba di sana dan mencari-cari pekerja yang rajin dan bagus. Maka saya tertarik kepada seorang anak berumur kira-kira dua belas tahun. la kelihatan tampan namun agak kurus sedikit tubuhnya. Bila saya mengamat-amatinya dan ia pun bertanya:
"Adakah tuan memerlukan diriku untuk bekerja?" dia bertanya kepadaku.
"Benar, saya memerlukan tenaga untuk membantuku. Mahukah engkau bekerja denganku pada hari ini?" Saya menjawab pertanyaanya.
"Saya bersedia untuk bekerja, tetapi dengan beberapa syarat," jawabnya.
"Syarat apakah itu?"
"Gajiku dalam sehari satu dirham, dan bila datang waktu sholat, izinkanlah saya sholat berjamaah, itulah syaratnya!" jawab anak muda itu.
"Itu sajakah!" "Saya, itu sahaja," jawabnya lagi. "Baiklah, saya terima syarat itu," tegasku kepadanya. Anak muda itu lalu bekerja dengan memuaskan, hasilnya cukup menggembirakan. Dia tidak mencuri sesuatu meskipun mencuri waktu. Di waktu pagi, bila saya berikannya makanan untuk sarapan, ia menolak dengan alasan bahawa dia sedang berpuasa. Pada saat sholat dhuhur, saya benarkan ia pergi berjamaah, kemudian ia kembali semula untuk meneruskan pekerjaannya sehingga menjelang waktu Asar, maka ia pun pergi lagi untuk sholat Asar berjamaah pula, kemudian ia kembali lagi dan bekerja lagi sampai menjelang waktu Maghrib. Saya lihat anak muda ini bukan saja tekun dalan kerjanya, namun dia tidak berhenti bekerja, melainkan sesudah masuk waktu Maghrib,di mana dia akan membuka puasanya. Mana orang boleh tahan seperti itu. Sudahlah terus-menerus bekerja, dia berpuasa pula. Saya merasa kasihan kepadanya, lalu saya mendatanginya dan melarangnya bekerja, terlampau sangat.
"Jangan bekerja terlalu banyak dan sampai lewat Maghrib," kataku menyuruhnya berhenti bekerja. Dia tersenyum, lalu menjawab:
"Memang saya biasa bekerja sampai menjelang waktu Maghrib," jawabnya bersahaja.
"Bukan saya tak suka kau bekerja kuat, tapi kasihanlah sedikit pada dirimu itu," saya menasihatinya.
"Terima kasih tuan," jawabnya lagi.
Setelah selesai kerjanya dia, terus mengerjakan sholat Maghrib. Kemudian saya datang kepadanya dan menyerahkan gajinya, yaitu sebanyak dua dirham, meskipun janji kita dulu hanya satu dirham.
"Mengapa dua dirham?" dia bertanyaku.
"Sebab engkau telah bekerja sampai malam, dan pekerjaanmu cukup memuaskan dan bagus sekali, saya suka karena itu saya bayar tambahan satu dirham lagi," kataku kepadanya.
"Tak boleh, kita harus menepati syarat yang telah kita setujui." Saya heran mengapa dia tidak mau menerima upahan yang lebih, kalau orang lain mesti dianggapnya bodoh.
"Tak boleh, kau mesti ambil yang lebih ini!" perintahku dengan suara keras sedikit.
"Bukan saya tak mau, tapi saya tak boleh menerimanya, karena ini adalah telah menyalahi syarat dan janji", jawab anak muda itu lagi.
Anak muda itu kemudian pergi dari situ dan meninggalkanku. Saya sudah tidak perdulikannya lagi karena dia menolak juga tambahan yang saya berikan kepadanya itu. Biarkanlah dia sudah, kata hatiku. Suka dialah. Bila menjelang pagi, saya lihat dia tidak datang lagi ke tempatku untuk bekerja. Di mana dia anak muda itu? Mengapa dia tidak datang. Barangkali dia marah, bila saya hendak memaksanya menerima upah yang lebih itu? Saya pun pergi mencari di tempatnya yang semula, namun saya tidak menemukannya di situ. Saya bertanya kepacta teman-temannya, maka saya telah diberitahu bahawa anak muda itu hanya datang ke tempatnya pada hari Sabtu saja. Ajaib! Di mana dia pergi hari-hari yang lain? Pada hari Sabtu yang berikutnya, saya kembali mencarinya lagi.
Memang benar, anak muda itu ada di tempatnya. Saya mengajaknya untuk bekerja kembali dengan syarat yang sama seperti dahulu. Dia datang dan bekerja dengan sungguh-sungguh dan giat, seperti sebelumnya, sekalipun ia tetap dalam keadaan berpuasa. Bila saya bertanya kepadanya tentang hari-hari lainnya, di mana dia? Dia enggan memberitahu dan saya tidak mau memaksanya, mana tahu dia tidak suka. Pada hari Sabtu ketiga, saya datang mencarinya, di tempat itu, tetapi dia tidak ada pada tempatnya yang biasa. Temannya memberitahuku bahawa ia sedang sakit di sebuah gubuk yang ditumpangkan oleh orang. Saya merasa kasihan kepadanya, bila mendengar dia sedang sakit. Orang dagang rupanya dia, tidak punya rumah tetap. Saya pun pergi untuk menziarahinya, dan saya dapatinya sedang telentang di atas tanah tanpa tikar dan bantal. Semakin sedih hatiku melihat keadaannya yang cukup miskin itu. Namun dia tetap begitu juga, tidak terkesan oleh keadaannya yang sungguh menyayat hati itu. Malah kelihatan wajahnya lebih bercahaya dari biasanya.
"Anakku!" kataku, "apa khabarmu?"
"Syukur Alhamdulillah, cuma saya sakit sedikit," jawabnya.
"Ada sesuatu yang perlu saya tolong?" saya mempelawanya untuk membantu apa pun, jika dia mahu.
"Ya, kebetulan sekali, memang ada," jawabnya lagi.
"Apa dia?"
"Besok pagi di waktu dhuha datanglah ke mari, jika tuan dapati saya sudah mati di sini, tolonglah mandikan saya, kemudian bungkuslah saya dengan bajuku ini, lalu sholati saya dan kuburkanlah saya di tempat ini, semua itu hendaklah tuan yang mengerjakannya sendirian saja! Setelah itu robeklah saku baju saya ini, ambil isinya lalu pergilah ke istana Khalifah Harun Ar-Rasyid, dan tunjukkan barang itu kepada beliau. Itulah saja pesanan saya kepada tuan. Dan jangan lupa menyampaikan salam saya kepada beliau, dan semoga Allah membalas segala kebaikan tuan." Mendengar keterangan anak muda itu, saya hairan sekali. Siapa dia sebenarnya kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid? Apa ada kait-mengaitnya dia dengan Khalifah itu, sehingga kematiannya mesti dilaporkan kepada beliau?.
"Siapa sebenarnya anak ini?" tanyaku ingin keterangan.
"Saya hamba Allah!" jawabnya. Saya terus memerhatikan wajahnya dengan penuh tanda-tanya. "Ingat, jangan lupa apa yang saya pesan tadi," tegasnya lagi.
"Baikiah!" jawabku pendek.
Kemudian saya pun pergi dari situ meninggalkannya. Pada pagi besoknya saya pergi ke gubuk itu, ternyata memang benarlah anak muda itu telah mati, wajahnya semakin bercahaya dan bibirnya pula tersenyum gembira. Saya pun segera memandikannya dan membungkus mayatnya dengan bajunya, di mana saya terlebih dulu merobek sakunya, dan saya dapati di dalamnya ada sebuah permata besar, yang tentu sekali, sangat mahal harganya. Sesudah itu saya mensholatinya dan menguburkannya berdekatan dengan gubuk itu. Kemudian saya tafakkur sebentar mengingatkan pertemuan anak muda itu denganku, dan bagaimana jujurnya dia dalam tindak-tanduknya. Tentulah dia seorang wali yang besar, yang ramai orang tidak tahu. Kemudian saya pun meninggalkan tempat itu kembali ke rumahku. Untuk beberapa hari saya memikirkan, bagaimana saya dapat sampaikan barang amanat yang berharga itu kepada tuannya. Saya fikir-fikir caranya, sehingga saya teringat bahawa Khalifah Harun Ar-Rasyid kerap melalui suatu tempat untuk melihat-lihat sekitaran pasar. Maka saya pun menunggu di situ beberapa hari, sehingga pada suatu hari benarlah Khalifah Harun Ar-Rasyid sedang melalui di situ di atas tunggangannya.
"Tuanku!" jeritku. Semua pengawalnya terkejut dan coba menghadangku dari sampai kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid. Mujur Khalifah menunjuk supaya saya dibenarkan datang menghampirinya. "Tuanku! Saya ada suatu amanat untuk Tuanku," kataku dengan penuh hormat.
"Apa dia?" tanya Khalifah. Saya pun tunjukkan kepadanya permata itu. Melihat permata tersebut, dengan tidak disangka-sangka lagi, Khalifah Harun Ar-Rasyid menjerit sekuat suara, lalu pingsan. Para pengawal berlaku panik antara satu dengan yang lain, apabila melihat Khalifahnya pengsan. Saya lalu ditangkap, nasib baik Khalifah segera sadar, saya pun dilepaskannya. Saya diperintah oleh Khalifah untuk mengikutinya ke istana. Rupanya dia tidak jadi hendak meneruskan pesiarannya. Tentulah perkara permata ini sangat penting sekali kepada Khalifah itu. Apabila di istana, saya ditanya oleh Khalifah:
"Di mana kau dapat permata ini?" tanya Khalifah.
"Hamba diberikan oleh seorang anak muda yang pernah bekerja dengan saya, Tuanku," jawabku dengan penuh hormat.
"Baiklah, di mana dia sekarang?" tanya Khalifah lagi.
"Dia sudah meninggal dunia, Tuanku," jawabku.
"Sudah meninggal dunia?!"
"Ya, Tuanku."
"Innaa Lillaahi Wa Innaa llalhi Rajiuun," ucap Khalifah. "Benar?"
"Benar, Tuanku. Saya yang menyelenggarakan mayatnya," terangku dengan takut dan bimbang, karena saya lihat Khalifah berubah mukanya kerena sedih.
"Aduh!" keluh Khalifah, kemudian dia menangis. Saya tunduk takut dan bimbang sekali. Apa rahasia permata ini? janganlah karenanya saya dihukum Khalifah pula. Nampaknya dia terlalu sedih itu. Saya berdiam di situ tegak menunggu berikutnya daripada Khalifah, sedang pengawal-pengawalnya mengelilingku menjaga jangan sampai saya coba melarikan diri, agaknya.
Setelah Khalifah Harun Ar-Rasyid tenang semula, dia lalu mengatakan kepadaku dengan suara rendah penuh sedih.
"Coba kau ceritakan kepadaku, bagaimana kau rnenemui pemilik?" sambil menunjukkan kepada permata yang ditangannya itu. Saya pun menceritakan segala-galanya tentang anak muda itu kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid, dan beliau mendengarkannya dengan tenang, dan kadang-kadang mengalir air matanya. Setelah selesai ceritaku kepadanya, saya dengar katanya:
"Berbahagialah anakku! Ketahuilah, wahal anakku, aku sungguh menyesal atas apa yang berlaku ke atas dirimu!" Kemudian Khalifah memanggil seseorang dari dalam istana itu. Tidak lama kemudian datang seorang wanita yang agak setengah umur. Melihat saya ada di situ, dia kemudian mengundurkan dirinya semula, tetapi Khalifah Harun Ar-Rasyid mengisyaratkan supaya dia maju dan duduk di sampingnya. Kemudian Khalifah menunjukkan permata itu. Begitu ia melihat permata itu, wanita itu pun menjerit dan jatuh pingsan. Setelah ia sadar semula, ia bertanya:
"Wahai paduka! Bagaimana paduka dapat permata ini?" Khalifah lalu menoleh kepadaku seraya berkata:
"Ceritakanlah apa yang kau ceritakan kepadaku tadi!" Saya pun menceritakaan sekali lagi apa yang berlaku di antaraku dengan anak muda itu, satu persatu, sehingga selesai. Sambil mendengar ceritaku itu, sambil menangis wanita itu.
Kemudian dia lalu menjerit: "Oh anakku! Oh buah hatiku! Betapa rindu ibumu kepadamu selama ini. Oh alangkah bahagianya aku, jika engkau berada di sampingku. Aku dapat memberimu makan dan minum, dan aku dapat menjagamu, dan merawatmu. Khalifah Harun Ar-Rasyid kemudian berkata kepadaku:
"Terima kasih banyak karena kau telah kembalikan amanat ini kepadaku. Bukan itu saja, bahkan kau telah membawa berita ia kepadaku tentang anakku yang menghilangkan diri itu. Dia adalah anakku yang sangat kusayangi, demikian pula ibunya. la selalu mengunjungi para alim-ulama, para guru, para cerdik pandai serta para salihin. Saat beta dinobatkan menjadi Khalifah, ia tidak begitu suka, ia terus menjauhkanku, kemudian melarikan dirinya daripadaku. Tetapi kerap pula dia datang kepada ibunya untuk memberitakan hal dan keadaannya. Saya pernah memberikan permata ini kepada ibunya untuk diserahkan kepadanya, supaya dijualkan bila dia memerlukan uang untuk hidupnya. Tetapi rupanya dia simpan permata ini, dan kini dia kembalikan kepada kami. Bagaimana cara kehidupannya kami tidak tahu. Kami juga tidak tahu tempat tinggalnya, di kota, di rimba, di kampung mana, hanya Tuhan saja yang mengetahuinya. Bertahun-tahun kami menunggunya kembali, tetapi hampa belaka. Kami ingin dia datang menjenguk kami, walau sebentar saja, supaya kami dapat melihat wajahnya, tetapi sekarang hanya beritanya saja yang sampai kepada kami, dan berita itu pula berita yang menyedihkan. Rupanya dia telah meninggalkan kami buat selama-lamanya!" Khalifah lalu menangis sedih, dan saya pun turut menangis sama.
"Tuanku!! Anakmu itu adalah seorang wali," saya ingin menggembirakan Khalifah. "Ya, memang ke situlah ia menuju," jawab Khalifah. la bertafakur sebentar, kemudian bertanya: "Tunjukkanlah kepada beta di mana kubur anakku itu? Beta ingin menziarahinya." "Baiklah, Tuanku. Hamba bersedia menghantarkan Tuanku ke sana," jawabku. Pada hari yang ditetapkan, saya pun mengantarkan Khalifah bersama rombongannya ke kubur anaknya itu. Khalifah Harun Ar-Rasyid berdiri di atas pusara anaknya dengan sedih dan mengalirkan air mata. Kemudian saya pun meninggalkan mereka di situ dan kembali ke rumahku. Sungguh kejadian itu meninggalkan kesan yang mendalam yang susah hendak dilupakan di dalam hatiku. Saya lalu berdoa: "Ya Allah! Berilah kami taufiq dan hidayah serta pertolonganmu dalam menjalani kehidupan di alam fana ini, dan rahmatilah kami semuanya, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar Lagi Mengasihani!" Amin!
COPY LINK HALAMAN
Saya sudah lama tinggal di Baghdad. Suatu hari ada sebuah rumah yang roboh dan perlu dibaiki secepatnya. Saya pun pergi ke suatu tempat di mana biasanya terdapat para pekerja yang menunggu pekerjaannya. Saya tiba di sana dan mencari-cari pekerja yang rajin dan bagus. Maka saya tertarik kepada seorang anak berumur kira-kira dua belas tahun. la kelihatan tampan namun agak kurus sedikit tubuhnya. Bila saya mengamat-amatinya dan ia pun bertanya:
"Adakah tuan memerlukan diriku untuk bekerja?" dia bertanya kepadaku.
"Benar, saya memerlukan tenaga untuk membantuku. Mahukah engkau bekerja denganku pada hari ini?" Saya menjawab pertanyaanya.
"Saya bersedia untuk bekerja, tetapi dengan beberapa syarat," jawabnya.
"Syarat apakah itu?"
"Gajiku dalam sehari satu dirham, dan bila datang waktu sholat, izinkanlah saya sholat berjamaah, itulah syaratnya!" jawab anak muda itu.
"Itu sajakah!" "Saya, itu sahaja," jawabnya lagi. "Baiklah, saya terima syarat itu," tegasku kepadanya. Anak muda itu lalu bekerja dengan memuaskan, hasilnya cukup menggembirakan. Dia tidak mencuri sesuatu meskipun mencuri waktu. Di waktu pagi, bila saya berikannya makanan untuk sarapan, ia menolak dengan alasan bahawa dia sedang berpuasa. Pada saat sholat dhuhur, saya benarkan ia pergi berjamaah, kemudian ia kembali semula untuk meneruskan pekerjaannya sehingga menjelang waktu Asar, maka ia pun pergi lagi untuk sholat Asar berjamaah pula, kemudian ia kembali lagi dan bekerja lagi sampai menjelang waktu Maghrib. Saya lihat anak muda ini bukan saja tekun dalan kerjanya, namun dia tidak berhenti bekerja, melainkan sesudah masuk waktu Maghrib,di mana dia akan membuka puasanya. Mana orang boleh tahan seperti itu. Sudahlah terus-menerus bekerja, dia berpuasa pula. Saya merasa kasihan kepadanya, lalu saya mendatanginya dan melarangnya bekerja, terlampau sangat.
"Jangan bekerja terlalu banyak dan sampai lewat Maghrib," kataku menyuruhnya berhenti bekerja. Dia tersenyum, lalu menjawab:
"Memang saya biasa bekerja sampai menjelang waktu Maghrib," jawabnya bersahaja.
"Bukan saya tak suka kau bekerja kuat, tapi kasihanlah sedikit pada dirimu itu," saya menasihatinya.
"Terima kasih tuan," jawabnya lagi.
Setelah selesai kerjanya dia, terus mengerjakan sholat Maghrib. Kemudian saya datang kepadanya dan menyerahkan gajinya, yaitu sebanyak dua dirham, meskipun janji kita dulu hanya satu dirham.
"Mengapa dua dirham?" dia bertanyaku.
"Sebab engkau telah bekerja sampai malam, dan pekerjaanmu cukup memuaskan dan bagus sekali, saya suka karena itu saya bayar tambahan satu dirham lagi," kataku kepadanya.
"Tak boleh, kita harus menepati syarat yang telah kita setujui." Saya heran mengapa dia tidak mau menerima upahan yang lebih, kalau orang lain mesti dianggapnya bodoh.
"Tak boleh, kau mesti ambil yang lebih ini!" perintahku dengan suara keras sedikit.
"Bukan saya tak mau, tapi saya tak boleh menerimanya, karena ini adalah telah menyalahi syarat dan janji", jawab anak muda itu lagi.
Anak muda itu kemudian pergi dari situ dan meninggalkanku. Saya sudah tidak perdulikannya lagi karena dia menolak juga tambahan yang saya berikan kepadanya itu. Biarkanlah dia sudah, kata hatiku. Suka dialah. Bila menjelang pagi, saya lihat dia tidak datang lagi ke tempatku untuk bekerja. Di mana dia anak muda itu? Mengapa dia tidak datang. Barangkali dia marah, bila saya hendak memaksanya menerima upah yang lebih itu? Saya pun pergi mencari di tempatnya yang semula, namun saya tidak menemukannya di situ. Saya bertanya kepacta teman-temannya, maka saya telah diberitahu bahawa anak muda itu hanya datang ke tempatnya pada hari Sabtu saja. Ajaib! Di mana dia pergi hari-hari yang lain? Pada hari Sabtu yang berikutnya, saya kembali mencarinya lagi.
Memang benar, anak muda itu ada di tempatnya. Saya mengajaknya untuk bekerja kembali dengan syarat yang sama seperti dahulu. Dia datang dan bekerja dengan sungguh-sungguh dan giat, seperti sebelumnya, sekalipun ia tetap dalam keadaan berpuasa. Bila saya bertanya kepadanya tentang hari-hari lainnya, di mana dia? Dia enggan memberitahu dan saya tidak mau memaksanya, mana tahu dia tidak suka. Pada hari Sabtu ketiga, saya datang mencarinya, di tempat itu, tetapi dia tidak ada pada tempatnya yang biasa. Temannya memberitahuku bahawa ia sedang sakit di sebuah gubuk yang ditumpangkan oleh orang. Saya merasa kasihan kepadanya, bila mendengar dia sedang sakit. Orang dagang rupanya dia, tidak punya rumah tetap. Saya pun pergi untuk menziarahinya, dan saya dapatinya sedang telentang di atas tanah tanpa tikar dan bantal. Semakin sedih hatiku melihat keadaannya yang cukup miskin itu. Namun dia tetap begitu juga, tidak terkesan oleh keadaannya yang sungguh menyayat hati itu. Malah kelihatan wajahnya lebih bercahaya dari biasanya.
"Anakku!" kataku, "apa khabarmu?"
"Syukur Alhamdulillah, cuma saya sakit sedikit," jawabnya.
"Ada sesuatu yang perlu saya tolong?" saya mempelawanya untuk membantu apa pun, jika dia mahu.
"Ya, kebetulan sekali, memang ada," jawabnya lagi.
"Apa dia?"
"Besok pagi di waktu dhuha datanglah ke mari, jika tuan dapati saya sudah mati di sini, tolonglah mandikan saya, kemudian bungkuslah saya dengan bajuku ini, lalu sholati saya dan kuburkanlah saya di tempat ini, semua itu hendaklah tuan yang mengerjakannya sendirian saja! Setelah itu robeklah saku baju saya ini, ambil isinya lalu pergilah ke istana Khalifah Harun Ar-Rasyid, dan tunjukkan barang itu kepada beliau. Itulah saja pesanan saya kepada tuan. Dan jangan lupa menyampaikan salam saya kepada beliau, dan semoga Allah membalas segala kebaikan tuan." Mendengar keterangan anak muda itu, saya hairan sekali. Siapa dia sebenarnya kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid? Apa ada kait-mengaitnya dia dengan Khalifah itu, sehingga kematiannya mesti dilaporkan kepada beliau?.
"Siapa sebenarnya anak ini?" tanyaku ingin keterangan.
"Saya hamba Allah!" jawabnya. Saya terus memerhatikan wajahnya dengan penuh tanda-tanya. "Ingat, jangan lupa apa yang saya pesan tadi," tegasnya lagi.
"Baikiah!" jawabku pendek.
Kemudian saya pun pergi dari situ meninggalkannya. Pada pagi besoknya saya pergi ke gubuk itu, ternyata memang benarlah anak muda itu telah mati, wajahnya semakin bercahaya dan bibirnya pula tersenyum gembira. Saya pun segera memandikannya dan membungkus mayatnya dengan bajunya, di mana saya terlebih dulu merobek sakunya, dan saya dapati di dalamnya ada sebuah permata besar, yang tentu sekali, sangat mahal harganya. Sesudah itu saya mensholatinya dan menguburkannya berdekatan dengan gubuk itu. Kemudian saya tafakkur sebentar mengingatkan pertemuan anak muda itu denganku, dan bagaimana jujurnya dia dalam tindak-tanduknya. Tentulah dia seorang wali yang besar, yang ramai orang tidak tahu. Kemudian saya pun meninggalkan tempat itu kembali ke rumahku. Untuk beberapa hari saya memikirkan, bagaimana saya dapat sampaikan barang amanat yang berharga itu kepada tuannya. Saya fikir-fikir caranya, sehingga saya teringat bahawa Khalifah Harun Ar-Rasyid kerap melalui suatu tempat untuk melihat-lihat sekitaran pasar. Maka saya pun menunggu di situ beberapa hari, sehingga pada suatu hari benarlah Khalifah Harun Ar-Rasyid sedang melalui di situ di atas tunggangannya.
"Tuanku!" jeritku. Semua pengawalnya terkejut dan coba menghadangku dari sampai kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid. Mujur Khalifah menunjuk supaya saya dibenarkan datang menghampirinya. "Tuanku! Saya ada suatu amanat untuk Tuanku," kataku dengan penuh hormat.
"Apa dia?" tanya Khalifah. Saya pun tunjukkan kepadanya permata itu. Melihat permata tersebut, dengan tidak disangka-sangka lagi, Khalifah Harun Ar-Rasyid menjerit sekuat suara, lalu pingsan. Para pengawal berlaku panik antara satu dengan yang lain, apabila melihat Khalifahnya pengsan. Saya lalu ditangkap, nasib baik Khalifah segera sadar, saya pun dilepaskannya. Saya diperintah oleh Khalifah untuk mengikutinya ke istana. Rupanya dia tidak jadi hendak meneruskan pesiarannya. Tentulah perkara permata ini sangat penting sekali kepada Khalifah itu. Apabila di istana, saya ditanya oleh Khalifah:
"Di mana kau dapat permata ini?" tanya Khalifah.
"Hamba diberikan oleh seorang anak muda yang pernah bekerja dengan saya, Tuanku," jawabku dengan penuh hormat.
"Baiklah, di mana dia sekarang?" tanya Khalifah lagi.
"Dia sudah meninggal dunia, Tuanku," jawabku.
"Sudah meninggal dunia?!"
"Ya, Tuanku."
"Innaa Lillaahi Wa Innaa llalhi Rajiuun," ucap Khalifah. "Benar?"
"Benar, Tuanku. Saya yang menyelenggarakan mayatnya," terangku dengan takut dan bimbang, karena saya lihat Khalifah berubah mukanya kerena sedih.
"Aduh!" keluh Khalifah, kemudian dia menangis. Saya tunduk takut dan bimbang sekali. Apa rahasia permata ini? janganlah karenanya saya dihukum Khalifah pula. Nampaknya dia terlalu sedih itu. Saya berdiam di situ tegak menunggu berikutnya daripada Khalifah, sedang pengawal-pengawalnya mengelilingku menjaga jangan sampai saya coba melarikan diri, agaknya.
Setelah Khalifah Harun Ar-Rasyid tenang semula, dia lalu mengatakan kepadaku dengan suara rendah penuh sedih.
"Coba kau ceritakan kepadaku, bagaimana kau rnenemui pemilik?" sambil menunjukkan kepada permata yang ditangannya itu. Saya pun menceritakan segala-galanya tentang anak muda itu kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid, dan beliau mendengarkannya dengan tenang, dan kadang-kadang mengalir air matanya. Setelah selesai ceritaku kepadanya, saya dengar katanya:
"Berbahagialah anakku! Ketahuilah, wahal anakku, aku sungguh menyesal atas apa yang berlaku ke atas dirimu!" Kemudian Khalifah memanggil seseorang dari dalam istana itu. Tidak lama kemudian datang seorang wanita yang agak setengah umur. Melihat saya ada di situ, dia kemudian mengundurkan dirinya semula, tetapi Khalifah Harun Ar-Rasyid mengisyaratkan supaya dia maju dan duduk di sampingnya. Kemudian Khalifah menunjukkan permata itu. Begitu ia melihat permata itu, wanita itu pun menjerit dan jatuh pingsan. Setelah ia sadar semula, ia bertanya:
"Wahai paduka! Bagaimana paduka dapat permata ini?" Khalifah lalu menoleh kepadaku seraya berkata:
"Ceritakanlah apa yang kau ceritakan kepadaku tadi!" Saya pun menceritakaan sekali lagi apa yang berlaku di antaraku dengan anak muda itu, satu persatu, sehingga selesai. Sambil mendengar ceritaku itu, sambil menangis wanita itu.
Kemudian dia lalu menjerit: "Oh anakku! Oh buah hatiku! Betapa rindu ibumu kepadamu selama ini. Oh alangkah bahagianya aku, jika engkau berada di sampingku. Aku dapat memberimu makan dan minum, dan aku dapat menjagamu, dan merawatmu. Khalifah Harun Ar-Rasyid kemudian berkata kepadaku:
"Terima kasih banyak karena kau telah kembalikan amanat ini kepadaku. Bukan itu saja, bahkan kau telah membawa berita ia kepadaku tentang anakku yang menghilangkan diri itu. Dia adalah anakku yang sangat kusayangi, demikian pula ibunya. la selalu mengunjungi para alim-ulama, para guru, para cerdik pandai serta para salihin. Saat beta dinobatkan menjadi Khalifah, ia tidak begitu suka, ia terus menjauhkanku, kemudian melarikan dirinya daripadaku. Tetapi kerap pula dia datang kepada ibunya untuk memberitakan hal dan keadaannya. Saya pernah memberikan permata ini kepada ibunya untuk diserahkan kepadanya, supaya dijualkan bila dia memerlukan uang untuk hidupnya. Tetapi rupanya dia simpan permata ini, dan kini dia kembalikan kepada kami. Bagaimana cara kehidupannya kami tidak tahu. Kami juga tidak tahu tempat tinggalnya, di kota, di rimba, di kampung mana, hanya Tuhan saja yang mengetahuinya. Bertahun-tahun kami menunggunya kembali, tetapi hampa belaka. Kami ingin dia datang menjenguk kami, walau sebentar saja, supaya kami dapat melihat wajahnya, tetapi sekarang hanya beritanya saja yang sampai kepada kami, dan berita itu pula berita yang menyedihkan. Rupanya dia telah meninggalkan kami buat selama-lamanya!" Khalifah lalu menangis sedih, dan saya pun turut menangis sama.
"Tuanku!! Anakmu itu adalah seorang wali," saya ingin menggembirakan Khalifah. "Ya, memang ke situlah ia menuju," jawab Khalifah. la bertafakur sebentar, kemudian bertanya: "Tunjukkanlah kepada beta di mana kubur anakku itu? Beta ingin menziarahinya." "Baiklah, Tuanku. Hamba bersedia menghantarkan Tuanku ke sana," jawabku. Pada hari yang ditetapkan, saya pun mengantarkan Khalifah bersama rombongannya ke kubur anaknya itu. Khalifah Harun Ar-Rasyid berdiri di atas pusara anaknya dengan sedih dan mengalirkan air mata. Kemudian saya pun meninggalkan mereka di situ dan kembali ke rumahku. Sungguh kejadian itu meninggalkan kesan yang mendalam yang susah hendak dilupakan di dalam hatiku. Saya lalu berdoa: "Ya Allah! Berilah kami taufiq dan hidayah serta pertolonganmu dalam menjalani kehidupan di alam fana ini, dan rahmatilah kami semuanya, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar Lagi Mengasihani!" Amin!